Friday, November 12, 2010

FIQIH PRIORITAS


oleh Dr. Yusuf Qardhawi


KEMAKSIATAN BESAR YANG DILAKUKAN OLEH HATI MANUSIA DOSA-DOSA besar itu tidak hanya terbatas kepada amalan-amalan lahiriah, sebagaimana anggapan orang banyak, akan tetapi kemaksiatan yang lebih besar dosanya dan lebih berbahaya ialah yang dilakukan oleh hati manusia. Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan lebih utama daripada amalan yang dilakukan oleh anggota tubuhnya. Begitu pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh hati manusia juga lebih besar dosanya dan lebih besar bahayanya.

KEMAKSIATAN ADAM DAN KEMAKSIATAN IBLIS Al-Qur'an telah menyebutkan kepada kita dua bentuk kemaksiatan yang mula-mula terjadi setelah terciptanya Adam dan setelah dia ditempatkan di surga. Pertama, kemaksiatan yang dilakukan oleh Adam dan istrinya ketika dia memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah SWT. Itulah jenis kemaksiatan yang berkaitan dengan amalan-amalan anggota tubuh yang lahiriah, yang didorong oleh kelupaan dan kelemahan kehendak manusia; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)


Iblis terlaknat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yaitu ketika Adam lupa dan lemah kekuatannya. Iblis menampakkan kepada Adam dan istrinya bahwa larangan Allah untuk memakan buah pohon itu sebagai sesuatu yang indah. Ia menipu mereka, dan menjanjikan sesuatu kepada mereka sehingga mereka terjatuh ke dalam janji-janji manis Iblis. Akan tetapi, Adam dan istrinya segera tersadarkan iman yang bersemayam di dalam hati mereka, dan mereka mengetahui bahwa mereka telah melanggar larangan Allah; kemudian mereka bertobat kepada Tuhannya, dan Allah SWT menerima tobat mereka:
  "... dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." (Thaha: 121-122) Keduanya berkata, "Ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (al-A'raf: 23) "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 37)
 Kedua, kemaksiatan yang dilakukan oleh Iblis ketika dia diperintahkan oleh Allah --bersama para malaikat-- untuk bersujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya, yang diciptakan oleh Allah SWT dengan kedua tangan-Nya, kemudian Dia tiupkan ruh kepadanya.
  "Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama malaikat yang sujud itu. Allah berfirman: "Hai lblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?" Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk." Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu akan tetap menimpamu hingga hari kiamat kelak."" (al-Hijr: 30-35) 
Itulah keengganan dan kesombongan terhadap perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah: "... maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (al-Baqarah: 34)
 Iblis membantah dan berkata kepada Tuhannya dengan sombongnya: "... Aku lebih baik daripada dirinya. engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah." (al-A'raf: 12)

Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa kemaksiatan Adam adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang tampak, kemudian dia segera bertobat. Sedangkan kemaksiatan Iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang tidak tampak; yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang sangat buruk oleh Allah SWT. Kami berlindung kepada Allah dari segala kemaksiatan tersebut. Tidak heranlah bahwa setelah itu datang peringatan yang sangat keras terhadap kita dari melakukan kemaksiatan dalam hati, yang digolongkan kepada dosa-dosa besar. Kebanyakan kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan besar yang dilakukan oleh anggota tubuh kita yang tampak; dalam bentuk meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah, atau melakukan segala larangannya.

KESOMBONGAN 
Sebagaimana yang kita ketahui dari kisah Iblis bersama dengan Adam, kesombongan dapat mendorong kepada penolakan terhadap perintah Allah SWT.
Dia berfirman: "Berkata Iblis: 'Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal dari) lumpur hitam yang diberi bentuk.'" (al-Hijr: 33) "... Aku lebih baik daripada dirinya..." (Shad: 76)
Atas dasar itulah kita diperingatkan untuk tidak melakukan kesombongan dan melakukan penghinaan terhadap orang lain; sehingga Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan."27
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, "Kemegahan adalah kain-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan barangsiapa yang merebutnya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya." 28
Dalam hadits yang lain disebutkan, "Seseorang akan dianggap telah melakukan keburukan apabila dia menghina saudaranya sesama Muslim." 29
"Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya (memanjangkan pakaian yang dikenakannya secara berlebihan) maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak."30
Selain dari hadits-hadits tersebut, al-Qur'an dalam berbagai ayatnya mencela orang yang melakukan kesombongan, dan menjelaskan bahwa kesombongan mencegah banyak orang untuk beriman kepada Rasulullah saw, sekaligus menjerumuskan diri mereka ke neraka Jahanam:
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenarannya)..." (an-Nahl: 14) 
"Maka masuklah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (an-Nahl: 29)
 "... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." (an-Nahl: 23)
 "... Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang." (Ghafir: 35)
 "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku..." (al-A'raf: 146)

KEDENGKIAN DAN KEBENCIAN 
Dalam kisah dua orang anak nabi Adam yang dikisahkan oleh al-Qur'an kepada kita, kita dapat menemukan kedengkian (hasad) yang mendorong kepada salah seorang di antara dua bersaudara itu untuk membunuh saudaranya yang berhati baik. "Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa." "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam." "Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?." Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (al-Ma'idah: 27-31)
Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berlindung kepada Allah dari kejahatan orang-orang yang dengki. "Dan dari kejahatan orang dengki apabila dia sedang dengki." (al-Falaq: 5)
Al-Qur'an mengatakan bahwa hasad adalah salah satu sifat orang Yahudi.
 "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran, karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia itu.?..." (an-Nisa': 54)
 Allah menjadikan hasad sebagai salah satu penghalang keimanan terhadap ajaran Islam, dan merupakan salah satu sebab penipuan terhadapnya:
 "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran..." (al-Baqarah: 109)
Rasulullah saw mengatakan bahwa kedengkian dan kebencian merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan sangat mempengaruhi agamanya. Beliau saw bersabda,
 "Penyakit umat terdahulu telah merambah kepada kamu semua yaitu: kebencian dan kedengkian. Kebencian itu adalah pencukur. Aku tidak berkata pencukur rambut, tetapi pencukur agama." 31
 Dalam hadits yang lain disebutkan, "Tidak akan bertemu di dalam diri seorang hamba, keimanan dan kedengkian."32
Rasulullah saw bersabda, "Manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama dia tidak mempunyai rasa dengki"33

KEKIKIRAN YANG DIPERTURUTKAN
Di antara bentuk kemaksiatan hati yang besar ialah tiga hal yang dianggap merusak kehidupan manusia, yang kita diperingatkan oleh hadits Nabi saw untuk menjauhinya: "Ada tiga hal yang dianggap dapat membinasakan kehidupan manusia, yaitu kekikiran (kebakhilan) yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan ketakjuban orang terhadap dirinya sendiri."34
Banyak sekali hadits yang mencela sifat kikir ini: "Kekikiran dan keimanan selamanya tidak akan bertemu dalam hati seorang hamba." 35
 "Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti." 36
 "Jauhilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu; karena ia membuat mereka menumpahlan darah dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan bagi mereka." 37
"Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskannya; kekikiran itu menyuruh bakhil, maka mereka bakhil; kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka mereka berbuat keji." 38

Para ulama berkata, "Kikir adalah sifat bakhil yang disertai dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali') ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah. Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang." Mereka berkata, "Kekikiran selamanya tidak pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin, dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadits Nabi saw menafikan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.

HAWA NAFSU YANG DITURUTI
Di antara hal-hal yang dapat membinasakan (al-muhlikat) manusia sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw ialah hawa nafsu yang dituruti; yang juga diperingatkan oleh al-Qur'an dalam berbagai ayatnya.
Allah SWT pernah berkata kepada Dawud: "Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu penguasa di maka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesathan kamu dari jalan Allah..." (Shad: 26) 
Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang terakhir: "... dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah hal itu melewati batas." (al-Kahfi: 28)
 "... dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun..." (al-Qashash: 50)
 "... Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka." (Muhammad: 16)
 Al-Qur'an menjelaskan bahwa mengikuti hawa nafsu itu akan membuat seseorang buta dan tuli, dan tersesat tidak mengetahui apa-apa, hatinya tertutup, sehingga dia tidak dapat melihat, mendengar, dan menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dirinya:
 "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)..." (al-Jatsiyah: 23) 
Oleh sebab itu, Ibn Abbas berkata, "Tuhan manusia yang paling jelek di bumi ialah hawa nafsu." Al-Qur'an meletakkan pencegahan hawa nafsu sebagai kunci untuk masuk surga;
sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: "Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at: 40-41)

 TA'AJUB TERHADAP DIRI SENDIRI 
Perkara ketiga yang dapat membinasakan manusia sebagaimana disebutkan dalam hadits ialah berbangga terhadap diri sendiri. Sesungguhnya orang yang berbangga terhadap dirinya sendiri tidak akan dapat melihat aib yang ada pada dirinya walaupun aib itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat kelebihan dan kebaikan dirinya sebagaimana mikroskop yang dapat memperbesar hal-hal yang kecil dalam dirinya. Al-Qur'an telah menyebutkan bagaimana kebanggaan kaum Muslimin terhadap diri mereka pada waktu Perang Hunain yang menyebabkan kekalahan, sehingga mereka menyadari keadaan itu dan kembali kepada Tuhan mereka. "Sesungguhnya Allah menolong kamu (hai para Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya..." (at-Taubah: 25-26) 
Ali r.a. berkata, "Keburukan yang engkau lakukan adalah lebih baik daripada kebaikan di sisi Allah yang membuatmu berbangga diri." Atha, mengutip makna ucapan Ali kemudian dia mengungkapkannya di dalam hikmahnya: "Barangkali Allah membukakan pintu ketaatan tetapi tidak membukakan bagimu pintu penerimaan amalan itu; barangkali Dia menakdirkan bagimu kemaksiatan, tetapi hal itu menjadi sebab sampainya kamu kepadaNya. Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai adalah lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan dirimu berbangga dan menyombongkan diri."

RIYA' (MEMAMERKAN DIRI)39
 Di antara kemaksiatan hati yang dianggap besar ialah riya'; yang menyebabkan batalnya dan tidak diterimanya amalan seseorang di sisi Allah SWT, walaupun pada lahirnya amalan itu tampak baik dan indah menurut Pandangan manusia.Ketika berbicara tentang orang-orang munafiq, Allah SWT
 "... Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (an-Nisa': 142)
 "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya', dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (al-Ma'un: 4-7) 
"... maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hajan lebat, lalu menjadilah dia bersih..." (al-Baqarah: 264)
 Sejumlah hadits menyebutkan bahwa riya' merupakan salah satu bentut kemusyrikan. Amalan yang dilakukan oleh orang yang riya' tidak dituiukan untuk mencari keridhaan Allah SWT tetapi dilakukan untuk mencari popularitas, pujian, dan sanjungan dari masyarakat. Oleh sebab itu, di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: "Aku adalah sekutu yang paling kaya. Maka barangsiapa melakukan amalan dengan menyekutukan diri-Ku dengan yang lainnya maka Aku akan meninggalkannya dan sekutunya." Dalam riwayat yang lain disebutkan: "Maka Aku akan berlepas diri darinya, dan Dia akan bersama sekutunya."40
Ada sebuah hadits yang sangat terkenal, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengenai tiga orang yang pada hari kiamat kelak, digiring ke api neraka; pertama adalah orang yang berperang sampai dia menjadi syahid; kedua adalah orang yang belajar ilmu pengetahuan dan mengajarkannya, dan membaca al-Qur'an; ketiga adalah orang yang menafkahkan hartanya pada kebaikan. Akan tetapi Allah SWT Maha Mengetahui niat-niat dan rahasia mereka. Allah menyatakan kedustaan mereka dan menunjukkan bukti-buktinya serta berfirman kepada setiap orang di antara mereka, "Sesungguhnya engkau melaksanakan ini dan itu adalah agar supaya orang mengatakan bahwa dirimu begini dan begitu." Sesungguhnya kepalsuan dan penipuan yang dilakukan oleh manusia seperti itu terhadap sesama manusia merupakan sifat yang sangat buruk. Lalu bagaimana halnya dengan kepalsuan yang dilakukan oleh makhluk kepada Khaliq-nya. Sesungguhnya perbuatan seperti itu lebih keji dan lebih buruk Itulah perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan riya', yang berbuat untuk memperoleh pujian orang. Dia melakukan semuanya untuk memperoleh kepuasan orang, yang bohong dan semu. Maka tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT akan murka kepadanya dan akan mengungkapkan segala rahasia yang tersimpan di dalam hatinya kelak pada hari kiamat dan akan memasukkannya ke neraka. Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah SWT.


CINTA DUNIA 
Di antara kemaksiatan hati lainnya yang dianggap besar ialah cinta dunia dan lebih mengutamakannya daripada akhirat. Hal ini merupakan sebab setiap kesalahan yang dilakukannya. Bahaya yang ditimbulkannya bukan terletak pada pemilikan dunia itu, tetapi keinginan dan ketamakan atas dunia dengan segala macam perhiasannya. Jika ada kesempatan untuk meraih kepentingan dunia dan akhirat, maka orang itu lebih mengutamakan kepentingan yang pertama daripada kepentingan yang kedua. Dan inilah yang menyebabkan kehancurannya di dunia dan di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman: "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at: 37-39) 
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami beriman kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16)
 "Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka..." (an-Najm: 29-30)
 "Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya." (al-Qashas: 60) 
 Berkaitan dengan urusan dunia, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban "Rahasia wahan yang melanda umat ini walaupun mereka jumlahnya sangat banyak: 'cinta dunia dan takut mati.'"

CINTA HARTA, KEHORMATAN DAN KEDUDUKAN 
Cinta dunia itu berbentuk cinta harta kekayaan, cinta kehormatan dan kedudukan, dengan disertai rasa tamak untuk memperoleh dua jenis kehidupan dunia itu, sehingga orang yang hendak mencarinya mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupannya asal dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya, sehingga agama dan imannya hilang dari dirinya.
Dalam sebuah hadits disebutkan: "Dua ekor serigala yang lapar, kemudian dilepaskan di tengah kawanan kambing, kerusakan yang ditimbulkannya tidak separah kerusakan yang menimpa keagamaan seseorang akibat ketamakannya dalam mencari kekayaan dan kehormatan." 41
Ketamakan memang diperlukan oleh manusia, tetapi dalam kadar yang wajar. Kalau ketamakan sudah tidak terkendalikan, dan anginnya berhembus, kemudian hawa nafsunya juga sudah tidak terkendali, maka ia akan menimbulkan kerusakan; sebagaimana yang dilakukan oleh dua ekor serigala yang sedang lapar kemudian berjumpa dengan seekor kambing yang hilang dari tuannya. Kerusakan itu disebabkan oleh adanya rasa tamak yang menyebabkan kesombongan dan kerusakan yang sangat dicela oleh agama itu.
Allah SWT berfirman: "Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (al-Qashas: 83) 
Di antara tanda-tanda cinta dunia adalah ketamakan terhadap kedudukan, kerakusan terhadap kepemimpinan, dan senang menampakkan diri, padahal ia dapat menghancurkan kehidupan. Nabi saw sangat mengkhawatirkan keadaan ini pada umatnya, dan bersabda, "Sesungguhnya kamu kelak akan tamak kepada kepemimpinan, padahal ia akan menyebabkan penyesalan dan kerugian kelak pada hari kiamat. Maka alangkah bahagianya orang yang menyusui dan betapa ruginya orang yang disapih." 42
Nabi saw menyamakan antara manfaat yang diperoleh melalui kepemimpinan dan orang yang menyusui, serta menyamakan orang yang disapih dengan pemimpin yang sudah lepas dari jabatannya, karena mati atau dicopot. Kepemimpinan itu memang mendatangkan manfaat dan kenikmatan tetapi cepat sekali menghilang, dan akan berakhir dengan kerugian. Oleh karena itu, orang yang berakal tidak akan tamak terhadap kenikmatan yang sifatnya sementara, yang banyak menimbulkan kerugian. Di antara kemaksiatan hati yang dianggap besar ialah rasa putus asa dari rahmat Allah SWT
. "... dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Yusuf 87)
 "Ibrahim berkata, "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat." (al-Hijr: 56)
 Termasuk dalam kemaksiatan hati yang besar juga ialah merasa aman dan azab Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 99)
Kemaksiatan besar lainnya ialah merasa senang apabila kekejian menyebar di dalam kaum Mukmin. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat..." (an-Nur: 19)
Itulah sebagian kemaksiatan besar yang dilakukan oleh hati manusia atau hal-hal yang dapat membinasakan kehidupannya, dan hanya sedikit sekali orang yang peduli terhadapnya karena mereka lebih memperhatikan kepada amalan-amalan lahiriah, berupa ketaatan yang dianjurkan dan kemaksiatan yang dilarang. Kemaksiatan hati itulah yang oleh Imam Ghazali dinamakan dengan hal-hal yang merusak (al-muhlikat). Dia mengkhususkan pembahasan mengenai hal ini tiga perempat bukunya, Ihya' 'Ulum al-Din. Maka betapa indahnya bila pemeluk agama ini dan para dainya memberikan perhatian kepada apa yang diutamakan oleh agama ini, sehingga mereka mau mengerahkan pikiran dan perasaannya kepada pendidikan dan pengajaran.

HAL-HAL KECIL YANG DIHARAMKAN 
Setelah berbicara tentang dosa-dosa besar yang sama sekali diharamkan oleh agama ini, maka ada baiknya kita juga berbicara tentang dosa-dosa kecil, yang oleh agama disebut dengan istilah lamam (remeh) dan muhaqqarat (hina) Hampir tidak ada orang yang luput dari dosa kecil ini. Oleh karena itu, dosa-dosa kecil ini sangat berbeda dengan dosa-dosa besar. Dosa-dosa kecil ini dapat dihapuskan oleh shalat lima waktu, shalat Jumat, puasa Ramadhan dan qiyam lail, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: "Shalat lima waktu, shalat Jumat kepada shalat Jumat berikutnya, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, apabila seseorang menjauhkan diri dari dosa-dosa yang besar." 43
Dalam as-Shahihain, disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Apakah pendapatmu apabila ada sebuah sungai berada di depan pintu rumah salah seorang di antara kamu, kemudian dia mandi setiap dan sebanyak lima kali; maka apakah masih ada lagi sesuatu kotoran di badannya? Begitulah perumpamaan shalat lima waktu itu, dimana Allah SWT menghapuskan kesalahan-kesalahan kecil hamba-Nya." 44
Dalam kitab yang sama disebutkan, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keyakinan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu." "Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh perhitungan, maka akan diampuni dosa-dosanya terdahulu."45 Bahkan al-Qur'an menyebutkan bahwa hanya dengan sekadar menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecil akan diampuni.
Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, maka Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (an-Nisa': 31)
 Adapun dosa-dosa besar tidak akan diampuni kecuali dengan melakukan tobat yang benar. Sedangkan dosa-dosa kecil, hampir dilakukan oleh setiap orang awam. Oleh sebab itu, ketika Allah memberikan sifat kepada orang yang suka berbuat baik di antara para hamba-Nya, Dia tidak memberikan sifat kepada mereka kecuali dengan "menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan yang keji." "... dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf." (as-Syura: 36-37)
 "Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya..." (an-Najm: 31-32)
 Itulah sifat orang-orang yang suka melakukan kebaikan, dan memiliki sifat yang baik. Mereka menjauhkan diri dari dosa besar, dan kekejian, kecuali dosa-dosa kecil (al-lamam). Ada beberapa riwayat dari para ulama terdahulu berkaitan dengan penafsiran kata "al-lamam" dalam ayat tersebut. Ada di antara mereka berkata, "Artinya, mereka tahu bahwa perbuatan itu merupakan suatu dosa, kemudian mereka tidak mengulanginya lagi walaupun itu dosa besar.
" Abu Salih berkata, "Aku pernah ditanya tentang firman Allah 'al-laman' kemudian aku berkata, 'Yaitu dosa yang diketahui oleh seseorang kemudian dia tidak mengulangi dosa itu kembali.' Kemudian aku menyebutkan jawaban itu kepada Ibn Abbas. Maka dia berkata, 'Sungguh engkau telah dibantu oleb malaikat yang mulia dalam menafsirkan kata itu.'" Jumhur ulama berkata bahwa sesungguhnya al-lamam adalah berada di bawah tingkatan dosa-dosa besar. Begitulah riwayat yang paling shahih diantara riwayat yang berasal dari Ibn Abbas, sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari: "Aku tidak melihat hal yang lebih serupa dengan al-lamam kecuali apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian-bagian zina terhadap anak Adam. Dia pasti melakukan hal itu. Mata berzina dengan melakukan penglihatan, lidah berzina dengan melakukan percakapan, hawa nafsu melakukan zina dengan berkhayal dan mengumbar syahwat, kemudian farji membenarkan atau mendustakannya.'" (Diriwayatkan oleh Muslim).
Dalam riwayat itu juga disebutkan: "Kedua mata melakukan zina dengan pandangan, kedua telinga melakukan zina dengan pendengaran, lidah melakukan zina dengan percakapan, dan tangan melakukan zina dengan memukul, serta kaki melakukan zina dengan melangkah." Imam Ibn al-Qayyim berkata, "Yang benar adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa al-lamam ialah dosa-dosa kecil, seperti melihat, mengedipkan mata, mencium, dan lain-lain. Pendapat ini berasal dan Jumhur sahabat dan orang-orang setelah mereka; seperti Abu Hurairah r.a., Ibn Mas'ud, Ibn Abbas, Masruq, dan al-Sya'bi. Pendapat ini tidak menafikan pendapat Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas dalam riwayat yang lainnya: 'Yakni seseorang mengetahui dosa besar itu kemudian dia tidak mengulanginya lagi.' Karena sesungguhnya al-lamam sama-sama mencakup keduanya. Ini bermakna bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas bermaksud bahwa ada seseorang yang melakukan dosa besar satu kali, kemudian dia tidak mengulanginya lagi, dan hanya sekali itu dilakukan dalam hidupnya, dan ini dinamakan al-lamam. Kedua orang ini juga berpandangan bahwa al-lamam juga dapat berarti dosa-dosa kecil yang lama kelamaan menjadi besar karena sering diulang berkali-kali. Dan itulah yang dipahami dari pendapat para sahabat r.a., dari kedalaman ilmu mereka. Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah SWT membedakan toleransi kepada hamba-Nya satu atau dua kali, atau tiga kali. Yang dikhawatirkan ialah kesalahan kecil yang seringkali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan. Dan bila sering dilakukan maka akan bertumpuk menjadi dosa yang banyak." 46
Walaupun syariah agama ini memberikan toleransi dan menganggap enteng dosa-dosa kecil dan ringan, tetapi dia memberikan peringatan agar tidak mengentengkannya, dengan terus melakukannya. Karena semua perkara yang kecil apabila ditambah dengan perkara yang kecil secara terus-menerus maka akan menjadi besar. Sesungguhnya dosa-dosa yang kecil dapat menjadi dosa besar, dan dosa besar mengakibatkan kepada kekufuran. Kebanyakan api yang besar asalnya adalah api yang kecil.
Sehubungan dengan hal ini Sahl bin Sa,ad meriwayatkan dari Nabi saw, "Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil adalah sama dengan perumpamaan suatu kaum yang turun ke sebuah lembah. Kemudian ada seorang di antara mereka membawa satu batang kayu, lalu ada lagi orang lain yang membawa sebatang kayu lagi, sampai batang kayu itu dapat dipergunakan untuk memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bila dilakukan secara terus-menerus, dapat membinasakan orang yang melakukannya."47
Ibn Mas'ud meriwayatkan dengan lafal: "Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil yang berkumpul pada diri seseorang akan dapat menghancurkannya." Dan sesungguhnya Rasulullah saw mengambil satu perumpamaan dosa kecil ini bagaikan suatu kaum yang tinggal di suatu lembah, lalu datang seorang pembuat roti, kemudian dia menyuruh orang untuk pergi mencari batang kayu; kemudian orang-orang datang membawa batang kayu itu sampai jumlahnya sangat banyak. Lalu mereka menyalakan api dan memasak apa yang mereka berikan kepada tukang roti itu."48 Ringkasan perumpamaan itu adalah sebagai berikut: "Sesungguhnya ranting-ranting kayu yang kecil itu ketika dikumpulkan akan dapat membuat api yang besar dan menyala-nyala. Begitu pula dosa-dosa kecil dan remeh." Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud: "Orang Mukmin itu melihat dosanya bagaikan gunung sehingga dia takut tertimpa olehnya; sedangkan orang munafiq melihat dosanya bagaikan lalat sehingga dia selalu terjerumus ke dalam dosa. Dengan dosa itu dia begini dan begitu." 49 (Sambil memberikan isyarat dengan tangannya yang terombang-ambing).
Imam Ghazali mengatakan dalam bab at-Taubah, di dalam bukunya, al-Ihya', tentang adanya sejumlah perkara besar karena perkara-perkara yang kecil, dan perkara yang besar menjadi lebih besar. Antara lain: Menganggap kecil dosa-dosa yang kecil dan meremehkan kemaksiatan, sehingga sebagian orang salaf berkata, "Sesungguhnya dosa yang dikhawatirkan oleh pelakunya untuk tidak diampuni ialah yang dikatakan olehnya: 'Alangkah baiknya bila seluruh dosa yang saya lakukan dikhawatirkan seperti ini.' Dosa lainnya ialah yang sengaja ditampakkan oleh pelakunya. Dalam sebuah hadits shahih dikatakan, 'Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang yang sengaja melakukan dosa-dosa secara demonstratif.' Ibn al-Qayyim berkata, "Di situlah kita mesti berhati-hati dalam melangkah. Karena sesungguhnya dosa besar itu apabila disertai dengan malu, rasa takut, dan anggapan terhadap sesuatu yang besar padahal sebetulnya sesuatu itu kecil, maka dia tidak akan melakukan perbuatan dosa. Sebaliknya, dosa kecil apabila tidak disertai dengan rasa malu, tidak peduli, tidak takut, dan meremehkannya, maka dia akan menjadi dosa besar. Dan bahkan akan menduduki peringkat yang paling tinggi di antara dosa-dosa tersebut."50
Begitu pula halnya dengan satu kemaksiatan akan berbeda dosanya sesuai dengan tingkat perbedaan individu yang melakukannya dan keadaannya. Zina yang dilakukan oleh seorang bujang tidak sama dengan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Dosa zina yang dilakukan oleh pemuda yang belum menikah dengan orang tua yang sudah menikah tidak dapat disamakan begitu pula zina yang dilakukan dengan istri tetangga atau istri orang yang sedang pergi berperang, atau dengan mahramnya, atau zina pada siang Ramadhan. Dosa zina itu tidak dapat disamakan.
Setiap keadaan akan dinilai secara tersendiri oleh Allah SWT. Allamah Ibn Rajab pernah mengatakan sesuatu yang sangat baik, dan ada baiknya bila saya kutipkan di sini. Perkara yang diharamkan telah disebutkan dengan sangat jelas di dalam al-Qur'an; seperti firman Allah SWT:
 "Katakanlah: 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orangtua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan...'" (al-An'am: 151) 
Hingga tiga ayat berikutnya. "Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raf: 33) 
Selain itu, al-Qur'an dalam beberapa ayatnya mengharamkan secara khusus, beberapa jenis makanan sebagaimana yang disebutkan di dalam beberapa tempat.
Misalnya, firman Allah SWT: "Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...'" (al-'An'am: 145) 
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) di sebut nama selain Allah..." (al-Baqarah: 173)
 "... dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain nama Allah ..." (an-Nahl: 115)
 "Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah..." (al-Ma'idah: 3)
 Al-Qur'an juga menyebutkan perkara-perkara yang ada kaitannya dengan nikah: "Diharamkan atas kamu mengawini ibumu, anak-anakmu yang perempuan ... (an-Nisa': 23)
 Ia juga menyebutkan hasil kerja yang diharamkan, misalnya dalam firman-Nya: "... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..." (al-Baqarah: 270)
 Sedangkan sunnah Nabi saw yang menyebutkan beberapa perkara yang diharamkan ialah: "Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, berhala." 51
 "Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya." 52
 "Setiap yang memabukkan adalah haram." 53
 "Sesungguhnya darah, harta kekayaan, dan kehormatan kamu adalah diharamkan atas kamu." 54
Perkara yang telah dijelaskan di dalam al-Qur'an dan sunnah sebagai sesuatu yang haram, maka ia adalah tetap haram. Kadangkala pengharaman itu diungkapkan melalui larangan yang disertai dengan ancaman yang keras,
seperti firman Allah SWT: "... sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat, Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu dan mengerjakan pekerjaan itu." (al-Ma'idah: 90-91) 
Adapun yang berkaitan dengan ungkapan yang hanya sekadar melarang, maka orang-orang berselisih pendapat, apakah hal itu menunjukkan pengharaman ataukah tidak? Ada satu riwayat dari Ibn Umar yang menyebutkan bahwa hal itu tidak menunjukkan pengharaman. Ibn al-Mubarak berkata bahwa dia diberitahu oleh Salam bin Abi Muthi', dari Ibn Abu Dakhilah, dari ayahnya berkata, "Dahulu aku pernah bersama dengan Ibn Umar yang berkata, 'Rasulullah saw melarang mencampurkan antara kurma basah dan kurma kering.' Kemudian seorang lelaki di belakangku berkata, 'Apa yang dia katakan?' Aku menjawab: 'Rasulullah saw telah mengharamkan pencampuran antara kurma basah dan kurma kering.' Maka Abdullah ibn Umar berkata, 'Bohong.' Lalu aku berkata, 'Tidakkah engkau telah mengatakan, 'Rasulullah saw melarangnya', maka apakah itu tidak menunjukkan keharaman?' Ibn Umar menjawab: 'Engkaukah yang menjadi saksi untuk itu?' Salam kemudian berkata, 'Seakan-akan dia berkata bahwa di antara larangan Nabi saw adalah termasuk adab.'"55
Telah kami sebutkan di muka tentang para ulama wara', seperti Ahmad dan Malik yang sangat berhati-hati dalam menggunakan kata "haram" untuk perkara yang belum diyakini keharamannya, karena mungkin perkara itu adalah syubhat atau masih diperselisihkan. Al-Nakha'i berkata, "Dahulu mereka tidak suka terhadap beberapa hal yang tidak mereka haramkan." Ibn Aun berkata, "Makhul berkata kepadaku, 'Bagaimanakah pendapat kamu tentang buah yang dilemparkan ke tengah-tengah kaum Muslimin kemudian mereka mengambilnya?' Aku menjawab 'Sesungguhnya buah itu menurut pendapat kami adalah makruh.' Dia berkata, 'Ia termasuk hal yang haram.' Aku berkata, 'Sesungguhnya buah itu menurut pendapat kami adalah makruh." Dia berkata, 'Ia termasuk hal yang haram.'" Ibn Aun berkata, "Kami kemudian menjauhinya karena ucapan Makhul itu."eharan, maka ke bagian manakah nyanyian itu lebih dekat?' Lelaki itu kemudian menjawab: 'Kepada kebathilan Ja'far bin Muhammad berkata, "Saya mendengarkan seorang lelaki bertanya kepada Qasim bin Muhammad: 'Apakah nyanyian itu haram?' Qasim kemudian diam, lalu lelaki itu kembali bertanya, dan Qasim tetap diam, ia kembali bertanya, lalu Qasim berkata kepadanya: 'Sesungguhnya haram itu adalah apa yang diharamkan di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Apakah engkau melihat apabila musik (nyanyian) itu dikaitkan dengan kebenaran dan kebathilan.' lelaki tersebut menjawab ' dekat kepada kebatilan, Qasim kemudian berkata, 'Begitulah seharusnya kamu, dan berilah fatwa kepada dirimu sendiri.'" Abdullah bin Imam Ahmad berkata, "Aku mendengar bapakku berkata, 'Adapun berkaitan dengan hal-hal yang dilarang oleh Rasulullah saw maka ada beberapa perkara yang diharamkan. Seperti sabdanya, Seorang wanita dilarang untuk dinikahi atas saudara perempuan bapaknya atau saudara perempuan ibunya.56
 Untuk hal seperti ini adalah haram. Rasulullah saw juga melarang penggunaan kulit binatang buas,57
maka larangan ini menunjukkan kepada sesuatu yang haram. Tetapi ada larangan dari Nabi saw yang menunjukkan bahwa larangan itu hanyalah sebagai adab.58

Catatan kaki: 27 Muttafaq 'Alaih dari Abdullah bin Amr, al-Lu'lu' wal-Marjan (57). 28 Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Iman, dari Ibn Mas'ud (147). 29 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564). 30 Muttafaq 'Alaih, dengan lafal dari Bukhari, al-Lu'lu' wal-Marjan (1439). 31 Diriwayatkan oleh Bazzar dari Zubair dengan isnad yang baik; sebagaimana dikatakan oleh Mundziri (al-Muntaqa, 1615); dan al-Haitsami (al-Majma', 8: 3); sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi (2512), yang berkata "Ini hadits yang banyak sekali riwayatnya." 32 Diriwayatkan oleh Nasai, 6:13; Ibn Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah r.a. (al-Mawarid, 1597), yang dinisbatian kepada Shahih al-Jami' as-Shaghir kepada Ahmad dan Hakim (7620). 33 Diriwayatkan oleh Thabrani dengan rawi-rawi yang tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziri (al-Muntaqa, 174) dan al-Haitsami (al-Majma', 8:78). 34 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath dari Anas dan Ibn Umar, yang menganggapnya sebagai hadits hasan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir, 3030 dan 3045. 35 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. 2:342; Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (270); Nasai, 6:13; Hakim, 2:72; yang di-shahih-kan dan disepakati oleh al-Dzahabi; Ibn Hibban(3251); Syaikh Syu'aib berkata bahwa hadits ini termasuk shahih li ghairih,. 36 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a., 9:17. Hafizh al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya': "Isnad hadits ini baik." dan di-shahih-kan oleh Syaikh Syu'aib dalam Takhrij Ibn Hibban; dan diriwayatkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3709) 37 Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir. 38 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Umar (1698); dan al-Hakim yang menshahihkannya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Muslim, 1:11, dan al-Dzahabi tidak memberikan komentar apa-apa. 39 Riya' ialah melakukan sesuatu amalan tidak untuk mencari keridhaan Allah tetapi untuk mencari popularitas atau pujian dari masyarakat 40 Riwayat yang pertama diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab az-Zuhd; sedangkan riwayat lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah (4202). Al-Mundziri berkata. "Para rawinya tsiqah." (Al-Muntaqa, 21); al-Bushiri dalam az-Zawa'id berkata, "Isnad-nya shahih, dan rijal-nya tsiqah." 41 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ka'ab bin Malik, 3: 456, 460; dan diriwayatkan oleh Tirmidzi az-Zuhd. Dia berkata bahwa hadits ini hasan shahih (2377); al-Manawi menukilnya dalam al-Faidh dari al-Mundziri yang mengatakan bahwa Isnad hadits ini hasan (5:446) 42 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa'i dari Abu Hurairah r.a. (Shahih al-Jami,as-Shaghir, 2304) 43 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. 44 Muttafaq Allaih dari Abu Hurairah r.a., al-Lu'lu' wal-Marjan (435); al-Muntaqa min at-Targhib wat-Tarhib, 514. 45 Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah r.a. al-Lu'lu' wal-Marjan (435); al-Muntaqa min at-Targhib 514. Yang dimaksudkan dengan dosa-dosa di sini ialah dosa-dosa kecil dan bukan dosa-dosa besar. 46 Lihat Ibn al-Qayyim. Madarij ai-Salikin, 1:316-318, cet. Al-Sunnah al-Muhammadiyyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Hamid al-Faqi. 47 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma', 10:190: "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan rijal yang shahih; dan diriwayatkan oleh Thabrani sebanyak tiga kali melalui dua rangkaian sanad, dengan rijal hadits yang shahih selain Abd al-Wahhab bin al-Hakam. Dia adalah seorang tsiqat. Dia menyebutkannya dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (2686), kemudian dia menisbatkannya kepada Baihaqi dalam al-Syu'ab wa al-Dhiya'" 48 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma', 10:189: "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dengan rijal yang shahih selain Imrah al-Qattan, tetapi dia dianggap tsiqat. Al-Manawi mengutip dari al-Hafiz al-Iraqi bahwa isnad hadits ini shahih." Al-Alai berkata, "Hadits ini baik, sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim." Ibn Hajar berkata, "Sanad hadits ini hasan." (Al-Faidh, 3:128) 49 Diriwayatkan oleh Bukhari 50 Madarij al-Salikin, 1: 328 51 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, 3:324,326,340; dan Bukhari (2236), dan (42961; Muslim (1581); Abu Dawud (3486); Tirmidzi (1298); Nasai, 7:177,309; dan Ibn Majah (2167) 52 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3488) dari hadits Ibn Abbas dengan isnad yang shahih. 53 Diriwayatkan oleh Muslim (2003); Abu Dawud (3679); Tirmidzi (1864); dan Nasai, 8:297 dari hadits Ibn Umar. 54 Sudah pernah disebutkan periwayatan haditsnya dari Abu Bakrah. 55 Ibn Abu Dakhilah dan ayahnya adalah dua orang yang tidak diketahui. 56 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a. (1109), (1110); Muslim (1408); Abu Dawud (2065) dan (2066); Nasai, 7:97; Ibn Majah (1929). 57 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4132); Tirmidzi (1770) dan (1771); Nasa'i, 7:167; Hakim, 1:144 dari Sa'id bin Abu Urubah; kemudian diriwayatkan dari Syu'bah, dari Yazid al-Rusyk, dari Abu al-Malih, dan Nabi saw dengan cara mursal. Dia berkata, "Ini lebih shahih." Lihatlah al-Baghawi, Syarh as-Sunnah. 2:99-100. 58 Ibn Rajab, Jami, al-'Ulum wa al-Hukm, yang di-tahqiq oleh Syu'aib al-Arnauth, yang takhrij haditsnya ada yang telah kita pergunakan, 2:157-160, cet. ar-Risalah. ------------------------------------------------------ FIQH PRIORITAS Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Dr. Yusuf Al Qardhawy Robbani Press, Jakarta Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

KITAB PERMULAAN TURUNNYA WAHYU

Bab Bagaimana Permulaan Turunnya Wahyu kepada Rasulullah saw. dan Firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."

l. Dari Alqamah bin Waqash al-Laitsi, ia berkata, "Saya mendengar Umar ibnul Khaththab r.a. (berpidato 8/59) di atas mimbar, 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, '(Wahai manusia), sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya (dalam satu riwayat: amal itu dengan niat 6/118) dan bagi setiap orang hanyalah sesuatu yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya (kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya 1/20) kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya (dalam riwayat lain: mengawininya 3/119), maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia hijrah."

2. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, bagaimana datangnya wahyu kepada engkau?" Rasulullah saw. menjawab, "Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku bagaikan gemerincingnya lonceng, dan itulah yang paling berat atasku. Lalu, terputus padaku dan saya telah hafal darinya tentang apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat berubah rupa sebagai seorang laki-laki datang kepadaku, lalu ia berbicara kepadaku, maka saya hafal apa yang dikatakannya." Aisyah r.a. berkata, "Sungguh saya melihat beliau ketika turun wahyu kepada beliau pada hari yang sangat dingin dan wahyu itu terputus dari beliau sedang dahi beliau mengalirkan keringat"

3. Aisyah r.a. berkata, "[Adalah 6/871] yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan mengambil bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah. Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah malaikat (dalam nomor 8/67) seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar). Lalu, beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid, lantas beliau bersabda, 'Selimutilah saya, selimutilah saya!' Maka, mereka menyelimuti beliau sehingga keterkejutan beliau hilang. Beliau bersabda dan menceritakan kisah itu kepada Khadijah, 'Sungguh saya takut atas diriku.' Lalu Khadijah berkata kepada beliau, 'Jangan takut (bergembiralah, maka) demi Allah, Allah tidak akan menyusahkan engkau selamanya. (Maka demi Allah), sesungguhnya engkau suka menyambung persaudaraan (dan berkata benar), menanggung beban dan berusaha membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran.' Kemudian Khadijah membawa beliau pergi kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza (bin Qushai, dan dia adalah) anak paman Khadijah. Ia (Waraqah) adalah seorang yang memeluk agama Nasrani pada zaman jahiliah. Ia dapat menulis tulisan Ibrani, dan ia menulis Injil dengan bahasa Ibrani (dalam satu riwayat: kitab berbahasa Arab. dan dia menulis Injil dengan bahasa Arab) akan apa yang dikehendaki Allah untuk ditulisnya. Ia seorang yang sudah sangat tua dan tunanetra. Khadijah berkata, Wahai putra pamanku, dengarkanlah putra saudaramu!' Lalu Waraqah berkata kepada beliau, Wahai putra saudaraku, apakah yang engkau lihat?' Lantas Rasulullah saw: menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Lalu Waraqah berkata kepada beliau, 'Ini adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Musa! Wahai sekiranya saya masih muda, sekiranya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu....' Lalu Rasulullah saw. bertanya, 'Apakah mereka akan mengusir saya?' Waraqah menjawab, 'Ya, belum pernah datang seorang laki-laki yang (membawa seperti apa yang engkau bawa kecuali ia ditolak (dalam satu riwayat: disakiti / diganggu). Jika saya masih menjumpai masamu, maka saya akan menolongmu dengan pertolongan yang tangguh.' Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu pun bersela, [sehingga Nabi saw. bersedih hati karenanya - menurut riwayat yang sampai kepada kami[1] - dengan kesedihan yang amat dalam yang karenanya berkali-kali beliau pergi ke puncak-puncak gunung untuk menjatuhkan diri dari sana. Maka, setiap kali beliau sudah sampai di puncak dan hendak menjatuhkan dirinya, Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah yang sebenarnya.' Dengan demikian, tenanglah hatinya dan mantaplah jiwanya. Kemudian beliau kembali pulang. Apabila dalam masa yang lama tidak turun wahyu, maka beliau pergi ke gunung seperti itu lagi. Kemudian setelah sampai di puncak, maka Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata seperti yang dikatakannya pada peristiwa yang lalu - 6/68]." [Namus (yang di sini diterjemahkan dengan Malaikat Jibril) ialah yang mengetahui rahasia sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain 124/4].

4. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. adalah orang yang paling suka berderma [dalam kebaikan 2/228], dan paling berdermanya beliau adalah pada bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpai beliau. Ia menjumpai beliau pada setiap malam dari [bulan 6/102] Ramadhan [sampai habis bulan itu], lalu Jibril bertadarus Al-Qur'an dengan beliau. Sungguh Rasulullah saw. adalah [ketika bertemu Jibril - 4/81] lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang dilepas."
 

Catatan Kaki:

[1] Saya (Al-Albani) berkata, "Yang berkata, 'Menurut riwayat yang sampai kepada kami" adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, perawi asli hadits ini dari Urwah bin Zubair dari Aisyah. Maka, perkataannya ini memberi kesan bahwa tambahan ini tidak menurut syarat Shahih Bukhari, karena ini dari penyampaian az-Zuhri sendiri, sehingga tidak maushul, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari. Karena itu, harap diperhatikan!"

Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press

PENDAHULUAN



 Oleh: Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, minta tolong kepada-Nya, dan minta ampun kepada-Nya. Kami mohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan nafsu dan kejelekan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (Ali Imran: 102)

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya. Dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (an- Nisaa': 1)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesunguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar." (al-Ahzab: 70-71)

Amma ba'du. Di antara program-program (rencana) saya yang telah lalu adalah berkhidmat kepada Sunnah yang suci, yang saya istilahkan dengan "Mendekatkan Sunnah kepada Umat". Saya membahasnya dalam beberapa kitab saya. Di antaranya adalah mukadimah saya terhadap Ringkasan Shahih Muslim oleh Hafidz al-Mundziri, yaitu dari satu sisi membuang isnad dan dari sisi lain membedakan yang sahih dan yang dhaif. Para Ulama telah menyepakati dan tidak ada yang membantah terhadap isnad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagaimana yang telah saya kembangkan dalam mukadimah tersebut. Maka, yang saya lakukan adalah menghapus sebagian isnad dan matan yang berulang-ulang.

Pertama kali yang saya lakukan adalah mentahkik Ringkasan Shahih Muslim, menyebutkannya, menomori hadits dan menjelaskan kata kata yang sulit, membuat catatan kaki, dan menerbitkannya di Beirut. Tetapi, setelah selesai mempelajarinya, tampak oleh saya bahwa Al-Hafidz al-Mundziri - semoga Allah memberi rahmat kepadanya - di dalam meringkas kitab tersebut tidak hanya membatasinya dengan membuang isnad dan matan yang berulang-ulang saja. Ia juga membuang sebagian isinya.

Karena itu, kalau saya mempunyai kesempatan, niscaya saya akan meringkasnya sendiri dengan metode khusus yang saya ciptakan sendiri. Kiranya Allah Yang Mahatinggi menghendaki hal itu. Yaitu, ketika saya ditakdirkan Allah dipenjara pada tahun 1389 H / 1969 M bersama beberapa ulama tanpa kesalahan yang kami lakukan kecuali hanya berdakwah kepada agama Islam dan mengajarkannya kepada masyarakat. Saya diseret ke penjara Qal'ah di Damaskus. Kemudian dikeluarkan setelah dipenjara yang kedua kalinya dengan menjalani hukuman beberapa bulan. Saya hanya mengharapkan pahala dari Allah.

Allah telah menakdirkan kesendirian saya di penjara yang hanya ada buku yang saya cintai Shahih Imam Muslim, pensil, dan penghapus. Di penjara, saya mewujudkan cita-cita saya dalam meringkas dan memudahkannya dengan menghabiskan waktu sekitar 3 bulan. Saya bekerja siang dan malam tanpa merasa lelah ataupun bosan. Dengan begitu, keinginan musuh-musuh umat untuk membalas dendam kepada kami ternyata berbalik menjadi nikmat. Yakni, nikmat yang bayang bayangnya menaungi kaum muslimin penuntut ilmu di manapun mereka berada. Maka, segala puji bagi Allah karena dengan nikmat-Nya sempurnalah amal-amal yang saleh.

Allah telah memudahkan bagi saya dalam menyelesaikan sejumlah besar tugas ilmiah yang kiranya tidak ada kesempatan bagi saya seandainya masih ada sisa umur dan saya tempuh metode yang biasa. Pihak pemerintah berikutnya melarang saya pergi ke kota-kota Suriah untuk melakukan kunjungan bulanan yang biasa saya lakukan untuk mengajak masyarakat supaya kembali kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Acara tersebut terkenal dengan nama "tahanan kota". Pada masa masa itu, saya juga dilarang menyampaikan pelajaran ilmiah yang banyak menyita waktu saya. Semua itu telah memalingkan saya dari mengerjakan banyak tugas, dan menghalangi saya untuk bertemu dengan orang-orang yang biasa memanfaatkan waktu saya untuk mendapatkan banyak hal (pengetahuan).

Setelah menelaah ringkasan tersebut, sebagian ikhwan ingin menerbitkannya. Akan tetapi, sebelumnya saya merasa perlu memulainya dengan meringkas Shahih Imam Bukhari untuk diterbitkan lebih dahulu. Kemudian disusul dengan menerbitkan ringkasan Shahih Imam Muslim. Beberapa hari kemudian saya mulai mewujudkan keinginan tersebut. Yaitu, meringkas Shahih Bukhari dalam beberapa kesempatan yang terpotong-potong, dan dalam waktu berbulan-bulan. Sehingga, dengan karunia dan kemurahan-Nya, Allah menakdirkan saya untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Kemudian Allah menghendaki saudara kami Ustadz Zuhair asy-Syawisy menerbitkannya. Saya mempersiapkan segala sesuatunya, yaitu menyiapkan jenis jenis huruf dan tulisan, supaya dapat diterbitkan kitab yang mudah dimengerti oleh pembaca dalam mengenal macam-macam hadits yang ada di dalamnya. Apakah hadits itu musnad yang maushul, mu'allaq marfu', atau atsar mauquf sebagaimana yang menjadi ciri khas takhrij dan catatan kaki saya.

Secara lamban buku tersebut dicetak pada tahun 1394 H kemudian indeksnya dicetak di Beirut pada tahun 1399 H. Terjadilah beberapa peristiwa yang menyedihkan, yaitu kami kehilangan hal-hal yang menjadi kelaziman suatu kitab[1] yang karenanya Saudara Zuhair terpaksa menggambarkan kelaziman-kelaziman dan bagian-bagian kitab itu. Maka, dapatlah - dan segala puji bagi Allah - dikembalikan bagian pertama kitab itu secara lengkap, dengan berharap kepada Allah semoga Dia memberikan kemudahan untuk segera menghidangkannya kepada masyarakat.


Tindakan yang Saya Lakukan dalam Meringkas Kitab Ini


Di dalam meringkas Shahih Imam Bukhari, saya menggunakan metode ilmiah yang cermat. Saya kira saya telah menerapkannya pada semua isi hadits Bukhari, atsar-atsarnya, kitab-kitabnya, dan bab-babnya. Tidak ada satu pun yang terluput, insya Allah, kecuali apa yang tidak dapat dihindari sebagai tabiat manusia (khilaf dan lupa).

Perinciannya sebagai berikut:
 
1. Saya buang semua isnad hadits tanpa tersisa kecuali nama sahabat perawi hadits yang langsung dari Nabi saw.. Juga kecuali perawi-perawi yang di bawah sahabat yang tak dapat dihindari karena keterlibatannya dalam kisah, sedang riwayat itu tidak sempurna kecuali dengan menyebutkan mereka.

2. Telah dimaklumi oleh orang-orang yang mengerti kitab Shahih Bukhari bahwa ia mengulang-ulang hadits dalam kitabnya itu dan menyebutkannya dalam beberapa tempat, kitab-kitab, dan bab-bab yang berbeda-beda, dan dengan riwayat yang banyak jumlahnya. Terkadang ia menggunakan jalan periwayatan lebih dari satu, sekali tempo ditulisnya hadits itu dengan panjang, dan pada waktu yang lain dengan ringkas. Berdasarkan hal itu, saya pilih di antara riwayat-riwayat yang diulang itu yang paling lengkap dan saya jadikan sebagai pokok dalam ringkasan ini. Akan tetapi, saya tidak berpaling dari riwayat-riwayat yang lain. Bahkan, saya menjadikannya sebagai kajian khusus, untuk mencari-cari barangkali di sana terdapat faedah tertentu. Atau, untuk menambah sesuatu yang tidak terdapat dalam riwayat yang dipilih, lalu saya ambil dan saya gabungkan ke dalam yang pokok.

Penggabungan tersebut menggunakan dua bentuk:

Pertama, apabila ada tambahan, digabungkan sesuai dengan aslinya dan diatur sesuai dengan tingkatan dan urutannya. Sehingga, pembaca yang budiman tidak merasa bahwa itu adalah tambahan. Kemudian saya letakkan di antara dua kurung siku [], misalnya apa yang ada pada sebagian karya saya seperti Shifatush Shalah, Hijjatun-Nabi, dan Ahkamul Janaiz.

Kedua, jika tambahan itu tidak teratur sesuai dengan tingkatan dan urutannya, maka saya letakkan diantara tanda kurung dan saya katakan: (dan dalam riwayat ini dan ini). Apabila riwayat itu dari jalan lain dari sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, saya katakan: (dan dalam satu jalan periwayatan) atau (dan dalam jalan periwayatan yang kedua). Apabila terdapat tambahan lain dari jenis jalan periwayatan yang ketiga, saya katakan: (dan dalam jalan yang ketiga). Dengan demikian, tujuan menjadi jelas, yaitu dapat memberi manfaat kepada pembaca dengan menggunakan ungkapan yang sangat singkat, bahwa hadits tersebut tidak gharib 'asing' dan sendirian periwayatannya dari sahabat tersebut. Pada masing-masing bentuk tadi saya letakkan nomor juz dan halaman dari cetakan Istambul pada tahun (.....) di akhir tambahan sebelum tanda kurung tutup.

3. Hadits shahih dari segi isnadnya menurut para ulama dibagi menjadi dua. Pertama, hadits maushul, yaitu hadits di mana penyusun menyebutkan isnadnya yang bersambung hingga para perawinya dari kalangan sahabat, itu termasuk sebagian atsar yang mauquf pada sahabat atau yang lainnya. Kedua, hadits mu'allaq, yaitu penyusun tidak menyebutkan isnadnya sama sekali atau disebutkan sebagian dari yang paling tinggi derajat nya dengan men-ta'liq-kannya pada sahabat atau lainnya, terkadang sanadnya adalah guru-guru Imam Bukhari. Bagian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu marfu' dan mauquf yang tidak semuanya sahih menurut penyusun dan para ulama sesudahnya karena di dalamnya terdapat hadits sahih, hasan, dan dhaif.[2] Matan ini juga saya bawakan dalam Mukhtashar 'Ringkasan' ini, tetapi saya bermaksud mentakhrijnya pada catatan kaki dengan menjelaskan tingkatannya dengan isnadnya itu sendiri atau lainnya jika hadits itu marfu'. Apabila dari atsar mauquf, maka saya cukupkan dengan mentakhrijnya saja, dan jarang sekali saya menyebutkan derajatnya (tingkatannya).

4. Kemudian saya memberi nomor pada ketiga jenis hadits tersebut dengan nomor khusus, dan setiap hadits mempunyai ukuran yang berbeda. Hadits yang musnad mempunyai nomor-nomor khusus yang berurutan, dan hadits yang marfu' mu'allaq mempunyai nomor-nomor khusus yang berurutan pula. Begitu juga atsar yang mauquf mempunyai nomor-nomor khusus pula. Manfaatnya ialah bahwa apabila kitab itu telah selesai, maka akan mudah diketahui jumlah setiap hadits dari ketiga jenis tersebut.[3]
 
5. Saya memberi nomor pada kitab-kitab dalam Shahih Bukhari ini dengan nomor-nomor yang berurutan[4] begitu juga pada semua bab. Dalam setiap babnya saya beri nomor yang berurutan, dengan memperhatikan setiap bab dari bab-bab yang ada. Hal itu karena telah populer di kalangan para ulama bahwa fiqih Bukhari itu ada dalam judul bab-babnya. Kemudian saya membuang satu bab yang di dalamnya tidak ada judulnya di mana Imam Bukhari menulis "Bab" tanpa tambahan apa-apa lagi. Apabila di bawah jenis itu ada hadits yang terdapat dalam Ash-Shahih, kemudian di dalam ringkasannya perlu dibuang, sehingga tinggal bab tanpa hadits, maka dalam kondisi semacam ini saya membuang bab tersebut karena jika dibiarkan tidak ada manfaatnya. Hanya saja saya membuangnya dengan nomornya sekaligus sebagai tanda pembuangan.

Tujuan dari penomoran dalam paragraf ini adalah agar indeks pada kitab-kitab hadits Kutubus-Sittah dapat dipergunakan dalam Mukhtashar ini sebagaimana dipergunakan pada aslinya, untuk mempermudah mencari suatu hadits manakala diperlukan.
 
Pada catatan kaki, saya jelaskan kata-kata yang sulit dan sebagian kalimat yang samar, sebagaimana yang sering saya lakukan pada karya ilmiah saya. Kemudian saya cantumkan pada setiap jilid indeks buku secara terinci baik untuk kitab-kitabnya, bab-babnya maupun haditsnya dengan tiga bagiannya itu.

Selanjutnya saya berniat memberi indeks secara terinci, yang di antaranya memuat indeks khusus untuk lafal-lafalnya dalam jilid tersendiri - mudah-mudahan Allah swt. mengizinkan - yang sekiranya memudahkan pembaca untuk mencari hadits dari kitab tersebut dalam waktu singkat.

Saya memohon kepada Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi semoga Dia berkenan menjadikan apa yang saya lakukan ini sebagai amal yang ikhlas karena-Nya, dan mudah-mudahan bermanfaat bagi kaum muslimin di belahan bumi bagian timur dan barat. Semoga Allah menyimpan pahalanya untuk saya hingga, "Pada hari ketika harta dan anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (asy-Syu'araa': 88-89)

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Beirut, awal Rajab 1399 H
Penulis,
 
Muhammad Nashiruddin al-Albani
 

Catatan Kaki:

[1] Pada saat memindahkan kelaziman-kelaziman kitab ke laboratorium penjilidan, saya kehilangan mobil yang mengangkutnya. Selang beberapa lama kembalilah beberapa orang yang tadi ada dalam mobil itu dan mereka mengabarkan terbunuhnya saudara Fauzi Ka'kati, semoga Allah memberi rahmat kepadanya. Padahal, hubungan saya dengan dia seperti saudara dan anak. Dia baru saja menikah tidak lebih dari 15 hari yang lalu. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga dan membebaskan Lebanon dari cobaan yang mengancam kehidupan orang-orang yang merdeka dan menghalangi manusia untuk mendapatkan keamanan dan melakukan usaha. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun, sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali. Demikianlah saya kehilangan sebagian besar kelaziman-kelaziman buku. Kemudian gudang yang dibuat menyimpan sisa kelaziman-kelaziman buku itu terbakar, sehingga hilanglah sebagian besar kelaziman-kelaziman itu. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, Ya Allah, berilah pahala kepada kami atas musibah yang menimpa kami dan gantilah untuk kami yang lebih baik dari ini (Zuhair).

[2] Sebagaimana telah diterangkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Aqlani dalam pendahuluan Fathul Bari (halaman 11-13, terbitan an-Nayyiriyah)

[3] Yang dalam juz ini terdapat:
 
[4] - Jumlah kitab (buku) sebanyak 33 kitab.
     - Jumlah hadits marfu' sebanyak 998 hadits.
     - Jumlah hadits mu'allaq marju' sebanyak 317 hadits, dan
     - Jumlah atsar mauquf sebanyak 409 atsar.

Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press


Thursday, November 11, 2010

HUKUM MAKAN DENGAN TANGAN KIRI

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Saat ini kami akan membahas adab makan yang lain yaitu adab makan dengan tangan kanan.

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai anak, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu." (HR. Bukhari no. 5376, Bab Membaca Basmalah ketika Makan dan Makan dengan Tangan Kanan; Muslim no. 2022, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat,

« إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ ».

"Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." (HR. Muslim no. 2020, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya)

Dalam kitab yang sama disebutkan riwayat lainnya,

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.

“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, 'Aku tidak bisa.' Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)

Dari beberapa hadits di atas, kita dapat menarik pelajaran bahwa terlarangnya makan dengan tangan kiri.

Kebanyakan ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa hukum makan dengan tangan kanan hanyalah sunnah (dianjurkan). Demikianlah yang dipilih oleh Al Ghozali kemudian An Nawawi. Akan tetapi, ada pendapat tegas dari Imam Asy Syafi’i dalam kitab “Ar Risalah” dan di tempat lain dalam “Al Umm” yang menyatakan bahwa hukum makan dengan tangan kanan adalah wajib.[1]

Pendapat yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i, itulah yang dinilai lebih kuat.

Penulis ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi memberikan penjelasan, “Pada hadits (urutan kedua seperti di atas, pen) secara tekstual menunjukkan perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Bahkan hal ini dikuatkan oleh riwayat Muslim, “Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, 'Aku tidak bisa.' Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.”[2]

Artinya jika dikatakan wajib, maka yang makan atau minum dengan tangan kiri dengan kesengajaan, berarti melakukan keharaman. Demikianlah yang lebih tepat karena ada penguat dalam riwayat Muslim yang menyatakan bahwa makan dengan tangan kanan menyerupai perbuatan setan. Inilah yang menjadi alasan wajibnya sebagaimana telah jelas dalam kaedah fiqhiyah. Wallahu a’lam.

Namun jika ada udzur (halangan) menggunakan tangan kanan kala itu, maka dimaafkan jika harus menggunakan tangan kiri. Ibnu Baththol menukil perkataan Ath Thobari, di mana beliau berkata, “Tidak boleh makan dan minum dengan tangan kiri kecuali bagi orang yang tangan kanannya dalam kesulitan untuk digunakan karena mesti melakukan hal lainnya seperti digunakan untuk mengambil, memberi, mengangkat, meletakkan atau membentangkan sesuatu.” Lalu Ath Thobari menyebutkan riwayat ‘Ali yang mendukung hal ini.[3] Ingat sekali lagi, dibolehkan dengan tangan kiri di sini ketika memang darurat, bukan karena malas.

Demikian sajian singkat malam hari ini. Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Selesai disusun saat kumandang adzan ‘Isya di Ummul Hammam, KSU, Riyadh, Saudi Arabia, 22 Syawal 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Rahasia Dilarang Memakan Daging Binatang Buas

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


( حرم على أمتي كل ذي مخلب من الطير وكل ذي ناب من السباع ) رواه أبو داود

”Diharamkan bagi ummatku (untuk dimakan) semua yang bercakar dari jenis burung dan semua yang bertaring dari binatang buas.” (HR Abu Dawud) 

Ilmu gizi modern menetapkan bahwa masyarakat yang mengkonsumsi daging binatang buas aka mewarisi sifat-sifat binatang yang dimakannya, karena kandungan racun dan hormon binatang tersebut yang mengalir dalam darah dan masuk ke dalam lambung lalu mempengaruhi akhlak-akhlak mereka. Dan telah terbukti bahwa binatang buas ketika hendak menerkam mangsanya, muncul dalam tubuhnya hormon-hormon dan unsur-unsur dalam tubuhnya yang membantunya menyerang dan menerkam mangsanya itu. Dr. S.Liebig, salah seorang professor ilmu gizi di Inggris berkata:”Sesungguhnya hormon-hormon ini keluar di tubuh binatang tersebut, walaupun dia berada di dalam kandangnya ketika disodorkan kepadanya sepotong daging untuk dimakannya.”

Lalu dia menjelaskan teorinya ini dengan mengatakan:”Cukup bagimu untuk mengunjungi kebun binatang sekali saja, dan arahkan pandanganmu ke seekor harimau. Lihatlah semangatnya ketika dia memotong-motong dan mengunyah daging di mulutnya), maka engkau akan melihat raut muka kemarahan dan kegelapan yang tergambar di wajahnya. Lalu pindahkan pandanganmu ke seekor gajah dan perhatikan kondisinya ketika dia makan sambil bermain-main dengan anak-anak dan para pengunjung kebun binatang. Dan lihatlah singa, dan bandingkan tingkah laku dan sikap kerasnya dengan sikap onta dan ketenangannya. Dan telah diperhatikan dari bangsa-bangsa yang memakan daging binatang buas, atau daging-daging lain yang diharamkan oleh Islam, bahwasanya mereka terjangkiti dengan kejelekan akhlak dan kecondongan untuk bersikpa keras, walaupun tanpa sebab kecuali hanya keinginan untuk menumpahkan darah (membunuh).”

Hal ini dikuatkan oleh penelitian dan pengkajian tentang masalah ini terhadap kabilah (suku) terbelakang yang menganggap lezat daging-daging tersebut, sampai sebagian mereka sampai pada suatu tingkatan yang sangat parah sehingga mereka memakan daging manusia. Sebagaimana penelitian ini juga memberikan hasil adanya fenomena lain di dalam kabilah-kabilah tersebut yaitu tertimpanya mereka dengan kegoncangan seksual dan hilangnya rasa cemburu terhadap orang lain, lebih-lebih terhadap hilangnya penghormatan mereka terhadap aturan rumah tangga dan masalah kehormatan dan harga diri.

Dan kondisi mereka lebih dekat dengan kondisi binatang-binatang buas tersebut, yang mana yang pejantan menyerang pejantan lain dan membunuhnya supaya dia bisa mendapatkan betinanya (pasangannya), sampai datang pejantan lain yang lebih muda dan lebih kuat, kemudian menyerang dan membunuh pejantan yang merampas betina pejantan awal dan seterusnya.

Mungkin saja memakan babi adalah salah satu sebab hilangnya kecemburuan di antara suami istri, dan munculnya fenomena-fenomena penyimpangan seksual seperti saling tukar pasangan, dan berhubungan intim secara bersama-sama/rombongan (dalam satu tempat). Dan sebagaimana telah diketahui bahwa babi apabila dipelihara -walaupun di lingkungan yang bersih sekalipun- maka apabila dia dilepas di hutan supaya mencari makan, maka dia akan kembali kebaitat asalnya lalu memakan kotoran dan bangkai yang dia dapatkan di jalan. Bahkan dia lebih menikmatinya dari pada memakan buncis (sayuran) dan kentang yang biasa dia makan ketika berada di lingkungan yang bersih. Dan ini adalah sebab terkandungnya cacing, parasit dan mikroba-mikroba yang bermacam-macam dalam tubuh babi, ditambah lagi meningkatnya kadar asam urat yang dikeluarkan olehnya yang akan berpindah kepada orang yang memakan dagingnya.

Sebagaimana daging babi juga mengandung kadar lemak dalam jumlah besar dibandingkan jenis-jenis daging yang lain, yang menjadikan dagingnya susah dicerna. Dan sebagaimana telah diketahui secara ilmiah bahwa daging-daging yang dimakan manusia, tingkat kemudahan dan kesusahannya untuk dicerna dalam lambung tergantung dengan jenis dan kadar lemak yang dikandung daging tersebut. Maka semakin besar kadar lemak daging tersebut semakin susah daging itu untuk dicerna. Dan telah datang dalam Ensiklopedi Amerika bahwa setiap 100 kg daging babi mengandung 50 kg lemak. Jadi kadarnya 50%, yang mana lemak dalam daging kambing cuma 17% dan dalam daging anak sapi tidak lebih dari 5%. Sebagaimana telah ditetapkan dengan peneletian bahwa lemak babi mengandung kadar lemak tak jenuh dalam jumlah yang besar.

(Sumber:Diterjemahkan dari " الإعجاز العلمي في الإسلام والسنة النبوية " karya Muhammad Kamil ‘Abdush Shomad, olehwww.alsofwah.or.id/

4 PERKARA PENGHAPUS DOSA

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran amat bagus tentang apa saja amalan yang bisa menghapuskan dosa. Penjelasan tersebut begitu ringkas dan sederhana yang semoga dapat menyentuh hati kita sehingga tidak terus berlarut dalam kubangan dosa.

Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

Dosa dapat terhapus dengan beberapa hal yaitu:

Pertama: Taubat.

Kedua: Istighfar yang tidak tercakup dalam taubat. Sesungguhnya Allah mengampuni dan mengijabahi do’a hamba-Nya walaupun ia hanya beristihfar tanpa menyertakan taubat di dalamnya. Namun jika taubat disertai dengan istighfar, maka itu lebih sempurna.

Ketiga: Amalan sholih yang menghapuskan dosa. Amalan yang lebih bermanfaat adalah amalan yang sifatnya umum maupun khusus (dalam menghapuskan suatu dosa). ... Pengampunan dosa di sini diperoleh jika seseorang mengikutkan kejelekan dengan kebaikan. Yang dimaksud hasanaat (kebaikan) adalah sesuatu yang dianjurkan oleh Allah melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perbuatan, akhlaq dan sifat.

Keempat: Musibah sebagai penghapus dosa. Musibah adalah segala sesuatu yang terasa menyakitkan berupa rasa gelisah, sedih dan rasa sakit yang menimpa harta, kehormatan, jasad atau yang lainnya. Namun musibah ini datang bukan atas kehendak hamba.[1]

Semoga jadi pelajaran berharga.



Written in tonight, 4th Dzulqo’dah 1431 H, in KSU, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia

By: Muhammad Abduh Tuasikal

www.rumaysho.com

BENARKAH KAPAL LAUT tidak dapat berlayar tampa ANGIN ???

Allah ta’ala berfirman,

وَلَهُ الجوار المُنْشَئَاتُ فِى البحر كالأعلام

“Dan kepunyaanNya-lah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung”. (Ar-Rahman: 24)

Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman,

إِن يَشَأْ يُسْكِنِ الريح فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ على ظَهْرِهِ إِنَّ فِى ذلك لأيات لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

“Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaanNya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur”. (Asy-Syura: 33)

Sebagian orang mengatakan, bahwa kapal-kapal laut yang berlayar dengan tenaga mesin menggunakan bahan bakar dari batu bara, minyak, atau lainnya, apa yang dapat menghentikannya jika angin berhenti (tidak ada)?

Semua jenis kapal laut yang menggunakan bahan bakar dengan semua jenisnya, dan bergerak menggunakan tenaga uap dengan bahan bakar batu bara atau minyak, sampai yang menggunakan bahan bakar nuklir sekalipun, apabila angin tidak ada, maka gerak kapal akan terhenti secara total, karena bahan-bahan bakar ini terbakar dengan perantara gas oksigen yang ada di udara.

(Sumber : 100 Mukjizat Islam, Pustaka Darul Haq)(alsofwah)